Selamat hari Senin! Entah apa yang mau diselamatin, oh I know, semangat yang perlu diselamatin. Jujur saja, sejak libur akhi tahun kemarin rsaanya belum menemukan selamat untuk kembali bekerja. Huff. Tiap pagi bangun mata masih terasa lengket, padahal malemnya tidur juga ga kurang. Apakah ini resiko bekerja di bidang ya ga sesuai dengan background? Ah elah, nyari excuse aja. I'm just lazy. That's it.
Being a working wife got me thinking about the argument, the hottest argument between moms: working mom and stay at home mom. I'm not a mom myself, yet. Tapi kalau punya anak nanti, kemungkinan paling besar saat ini adalah saya akan menjadi ibu yang bekerja. Saya sedih juga setiap baca artikel tentang perdebatan ini. Pertama, kenapa harus membuat kategori untuk sosok ibu? Seorang ibu ya ibu, mau dia bekerja di luar rumah, mau bekerja di rumah, mau ga bekerja, seorang ibu akan tetap menjadi ibu. Yang membuat sedih adalah, yang berdebat tentang ini dan membuat klasifikasi ini adalah ya ibu-ibu itu sendiri. Beberapa waktu lalu, pembahasan ini menghangat karena cuitan twitter ustad Felix. Padahal cuitan itu merupakan satu bagian dari rentetan cuitan lainnya. Nah, kalau tidak dibaca secara lengkap akan menimbulkan makna yang berbeda. Kebiasaan buruk ya, hanya membaca sepotong kemudian heboh.
Di antara perdebatan mengenai hal ini, yang sering disampaikan adalah ibu yang bekerja akan kehilangan waktu berkualitas bersama anak dan kedudukan anak sebagai prioritas utama akan terbagi dengan pekerjaan. Hal seperti ini seharusnya bukan menjadi sesuatu yang digeneralisasi, karena faktanya pola asuh anak oleh sebuah keluarga sangat unik dan masing-masing induvidu punya cara sendiri. Begitu pula seorang ibu. Sangat salah kalau menggeneralisir perkara ini. Kalau anda seorang ibu dan tidak bekerja, good for you. Kalau anda seorang ibu dan bekerja, good for you. Selama ia menjalankan sebagai seorang ibu, mau ia bekerja mau ga, that's a good thing. Toh ga ada jaminan kalau seorang ibu yang ga bekerja akan bisa mendidik anak dengan lebih baik dariapada ibu yang bekerja. Bukti nyatanya pasti sudah banyak lah di sekitar kita.
Ayolah para perempuan, Ibu Kartini memperjuangkan emansipasi bukan untuk ini. Bagi saya pribadi, emansipasi wanita berarti kebebasan wanita tersebut untuk menentukan sendiri masa depannya. Emansipasi wanita bukan berati ia harus menjadi wanita karir, tetapi berarti seorang wanita memiliki kebebasan untuk memilih. Kalau seorang wanita berpendidikan tinggi, cerdas, dan mandiri memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, mengabdi pada suami, mendidik anak, mengurus rumah, itu pun adalah haknya. Selama kepala keluarga mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, ia adalah seorang yang beruntung. Kalau seorang perempuan mengejar bekerja, mengejar mimpinya, atau membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan rumahnya, dan mendidik anaknya dengan baik, itu hal yang biasa. Kewajban utama istri, taat pada suami, kan? Selama suaminya ridho, kenapa orang lain harus nyinyir? Tapi yaa, itulah realitanya.
Negara kita tercinta ini katanya demokrasi, tapi mental masyarakatnya belum siap. Kebebasan berpendapat dan bertindak mengerucut jadi dua kutub: kurang dihargai dan kebablasan. Di satu sisi, orang belum bisa menghargai dan memaklumi pendapat atau tindakan yang berbeda, yang tidak biasa, dan dibilang nyeleneh. Di sisi lain, orang mengagung-ngagungkan kebebasan berpendapat dan bertindak sampai lupa kalau opini dan perilaku mereka justru melanggar hak orang lain. Gimanapun juga, itulah realitasnya. Butuh kepala dingin untuk bertahan di lingkungan seperti ini.
Udah dulu ah ramblingnya. Gotta work when I'm in teh mood. Bye.
No comments:
Post a Comment