Ternyata baru ada dua biji postingan di bulan September. Baiklah, saya akan menambah lagi. Random aja yaa. Belum terlalu lama saya baca di blog pendiri majalah cewek tentang 'kemarahan' dia saat melihat media sosial pengusaha sukses dengan gender laki-laki. Di mana, para pengushaa tersebut menyemangati wanita untuk berusaha lebih keras. Yang menjadi sumber kemarahan ibu ini adalah karena para lelaki itu tidak melakukan hal yang sama dengan perempuan: yaitu mengurus anak. Dia memberikan ilustrasi suasana rumahnya di pagi hari yang intinya, kalau anak-anaknya ribut, dia lah yang menjadi orang yang bertanggungjawab untuk meredakan keributan itu.
Saya sendiri merasa terhubung oleh cerita itu meskipun belum ada anak dalam rumah kami. Tapi, saya sering merasa terhimpit dengan norma sosial di sini yang menuntut wanita untuk menjadi satu-satunya pihak orang tua yang bertanggung jawab terhadap 'rumah tangga' sedangkan laki-laki adalah sumber uang. Bahkan ketika si istri bekerja pun, orang masih menuntutnya untuk mengurus rumah. Tuntutan yang tidak begitu besar diberikan pada laki-laki. Hal ini mengganggu. Karena bukankah seharusnya rumah tangga adalah tanggung jawab bersama? Tentu saja istri berkewajiban untuk menaati suami, tapi tidak berarti suami behak untuk berlaku sewenang-wenang terhadap istri. Sebagai anak yang tumbuh dari keluarga broken home dengan ibu yang menurut saya ibu rumah tangga sempurna, saya muak melihat gambaran laki-laki menindas wanita.
Sudah pasti seorang ibu bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anaknya, tapi begitu juga ayah. Apa kalian pikir, asal udah ngelempar duit, anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan baik? Thank God I did good enough. Apa yang namanya bersih-bersih, kerapian rumah, dan ketersediaan makanan itu hanya tanggung jawab istri? Cari pembantu aja kalau gitu. Ga, sekali lagi yang namanya rumah tangga itu tanggung jawab bersama. Bagaimanapun kondisinya. Entah itu suami istri bekerja di luar rumah, suami kerja di luar istri di rumah, atau suami di rumah istri kerja di luar. Masing-masing punya tanggung jawab yang sama untuk dapat menjalankan hidup berumah tangga dengan bahagia. Jangan main perhitungan, "Gw kan udah kerja, lo masak dong.", "Lo udah ngelakuin apa aja buat gw?" Kalau mau main itung-itungan mah, dagang aja.
Suami istri harus saling menghargai dan mendukung. Balik lagi pada cerita di awal. Si ibu ini adalah pengusaha sukses dan memiliki tiga orang anak. Suaminya juga pekerja. Dia bercerita betapa lelahnya ketika sepulang kerja dia harus pergi untuk mencari ini dan itu yang perlu dibawa anaknya ke sekolah besok. Sedangkan suaminya saat pulang kantor bisa dengan tenang menikmati hobinya. Kenapa? Karena ketika ada yang 'kurang' dengan anak, sosok ibu lah yang pertama kali dipertanyakan. Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang, bahwa ayah dan ibu lah yang bertanggung jawab atas anak-anak. Bahwa ayah dan ibu lah yang menjadi pilar penopang keluarga. Mungkin sudah saatnya, mulai belajar untuk mendidik anak sedari kecil supaya bertanggungjawab terhadap diri sendiri, sudah saatnya mengajari anak sedari kecil untuk melakukan segala pekerjaan tanpa memandang ini 'kerjaan wanita atau kerjaan laki-laki', sudah saatnya untuk mengajari anak-anak cara menghargai orang lain supaya mereka tidak meremehkan siapapun yang akan bersinggungan dengan mereka dalam jalan hidupnya.
Tetap saja, tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah yang memadai membuat saya berpikir bahwa perempuan adalah yang sangat kuat. Seorang ibu, selalu bisa menjadi ayah.
No comments:
Post a Comment