Sunday, September 29, 2013

A new journey

Bissmillah. Alhamdulillah saat menulis blog ini saya berada di tempat yang bisa dibilang sama sekali baru. Jogja.. Jogja.. Siapa yang tidak kenal dengan kota istimewa ini? Bukan, saya bukan sedang berwisata, tapi dalam rangka melanjutkan belajar, mengembangkan ilmu, he he. Inget perkataan dosen beberapa waktu lalu "Kalian kan di sini buat mengembangkan ilmu to?" Saat itu langsung mikir, kalau dulu, pasti yang namanya ke sekolah itu buat menimba ilmu, ternyata setelah dewasa (katanya) proses belajar itu sudah bukan lagi sekedar menimba ilmu, tapi berubah jadi mengembangkan ilmu.


Pertama kali di sini, masuk kelas, ga ada yang kenal sama sekali. Wajar sih, saya satu-satunya mahasiswa pasca dengan latar S1 Ilmu dan Teknologi Pangan (IPB). Setelah berkenal-kenalan dengan sana sini, saya tau mayoritas mahasiswa teman - teman sekelas saya adalah penduduk lokal, alias orang Jogja, selain itu ada beberapa mahasiswa dari Purwokerto dan Malang. Ketika mereka tau saya almuni ITP IPB, saya selalu ditodong dengan pertanyaan yang sama "Kok gak ngelajutin di IPB aja? Teknologi Pangan IPB kan bagus." Pertanyaan yang biasanya saya hadapi dengan cengiran gak jelas sebelum menjawab seadanya, bosen, pengen ganti suasana, nyari yang lebih deket dari rumah (sungguh alasan yang absurd). Alhamdulillah, sebagai alumni ITP IPB, saya bangga juga melihat almamater saya sangat dihargai di sini, tapi saya belum dapat menemukan cara menjawab yang memuaskan untuk pertanyaan langganan itu. Sampai saya berpikir kembali, alasan saya tidak melanjutkan di tempat yang sama, memang sederhananya karena saya merasa jenuh di sana. Sudah tau tempat kuliahnya, praktikumya, dosen-dosennya, semuanya sama dengan tingkat sarjana. Bagi sebagian orang tentu ini merupakan kemudahan, bukankah lebih enak kalau sudah tau? Jadi lebih gampang? Tapi saya memilih untuk tidak menghiraukan kemungkinan kemudahan itu.

1. Kalau dalam ilmu Biologi, fenotipe (karakter) makhluk hidup ditentukan oleh genotip dan lingkungan. Nah, bagi manusia yang katanya makhuk sosial, lingkungan menjadi semakin signifikan pengaruhnya. 
2. Saya ingat ada pernyataan yang menyebutkan, pendidikan itu, bukan sekedar untuk mencari ilmu teoritis (yang tentu benar sekali mengingat sekarang hampir semua informasi teoritis dapat diakses gratis di internet), tapi yang lebih penting adalah untuk membentuk pola pikir.
Dari dua hal itu saya jadi berpikir, mungkin saya memilih belajar di lingkungan yang baru untuk merasakan berpikir dengan pola yang baru. Mendapatkan pengaruh -pengaruh baru dari orang - orang baru yang akan saya temui. :-)

Ngomong - ngomong tentang baru, satu hal yang langsung terasa berbeda adalah bahasa. Ketika di Bogor, default bahasa di kampus adalah bahasa Indonesia, sedangkan orang - orang di luar lingkungan kampus banyak yang berbahasa Sunda, selain Indonesia. Di sini, bahasa yang sering digunakan untuk komunikasi non-formal adalah bahasa jawa. Bahkan, dalam kuliah pun, dosen-dosennya sering menggunakan istilah dalam bahasa jawa. Tapi, ternyata saya lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi, baik dalam kesempatan formal maupun non-formal. Bukan, bukan karena saya belagu mentang- mentang sudah lama tinggal di Bogor, tapi karena bahasa jawa saya (yang dari Jawa Timur), ternyata memiliki perbedaan dengan basaha jawa yang biasa digunakan di sini. Daripada terjadi salah paham, gak nyambung, atau lebih parah lagi sampai dianggap tidak sopan, lebih baik saya ngomong pake bahasa Indonesia, he he he. Bahasa Indonesia pun, tidak seperti yang biasa digunakan antar teman di sana, saya gak ngomong "lo - gue" lagi dengan teman-teman di sini, dengan lawan jenis sekalipun, karena di sini tidak terpengaruh oleh modifikasi - modifikasi bahasa itu.
Saya dan dua teman saya yang berasal dari Jogja dan Purwokerto pernah mencoba ngobrol dengan bahasa jawa kami masing - masing. Hasilnya? Roaming! Alias banyak yang tidak kami mengerti maupun salah arti. Ha ha ha. Indonesia memang kaya :-)

No comments:

Post a Comment