Friday, May 20, 2016

Angsty

It's Friday! Yeay! Finally! Minggu ini terasa berjalan lambat bagi saya. Dua weekend terakhir menyenangkan sekali karena ada ibu dan saudara. Menyenangkan dan capek, he he. Karena full pergi - pergi. Karena itu juga pekerjaan rumahan rutin jadi ditinggalkan, akibatnya sekarang numpuk. Heuu. Gunungan baju-baju yang belum disetrika baru berkurang sedikit sudah ada tambahan lagi. Sebenarnya ibu dan D sering menyarankan untuk pakai jasa orang saja. Tapi saya kurang puas kalau urusan pakaian ini diserahkan ke orang lain. Ya suda laa, dicicil aja pelan - pelan.
Kemarin sempet lihat beberapa trailer film di Youtube. Ada yang menarik perhatian saya, yaitu film yang dibintangi Amanda Seyfried dan Russel Crowe: Fathers and Daughters. Genrenya drama. Dan fokus ceritanya ada hubungan antara seorang ayah dengan anak gadisnya. Saya jarang tertarik menonton film drama. Tapi, melihat trailer film ini membuat saya ingin nonton. Saat melihat trailernya saja mata saya sudah berkaca-kaca, sepertinya akan menangis deras saat melihat filmnya nanti. Bagi saya, apapun yang berkaitan dengan sosok 'ayah' memang mudah menyentuh perasaan.

Beberapa waktu lalu saya, D, Ibu, dan teman kantornya makan siang di sebuah restoran di mall. Tepat di samping meja kami duduk seorang wanita muda dan pria tua. Bukannya naiat mencuri dengar, tapi jarak meja yang sangat dekat membuat suara obrolan mereka sampai di telinga saya. Nampaknya dua orang tersebut adalah ayah dan anak. Saya berulang kali mengerling ke arah mereka, sembunyi-sembunyi menatap si anak. Karena takjub. Adalah hal yang indah, melihat seorang wanita muda menyempatkan diri untuk berjalan-jalan dengan ayahnya dan mengobrol hangat dengannya. Atau sebenarnya ini adalah hal biasa? Mungkin bagi saya saja yang tidak biasa.

Sosok ayah merupakan hal yang penting dalam kehidupan seorang anak. Begitu yang saya baca dalam sebuah grafis mengenai pendidikan anak yang dishare di media sosial. Penting karena sosok ayah pasti membawa pengaruh besar bagi pembentukan karakteristik anak. Kehadiran sosok ayah, karakter ayah tersebut, cerita yang didengar mengenai ayah, semua itu mempengaruhi kepribadian si anak. Dalam grafis tersebut juga dituliskan: ayah yang pasif lebih baik daripada perceraian, perceraian lebih baik daripada ayah yang melakukan kekerasan dan hal-hal buruk lainnya. Lalu bagaimana jika sosok ayah tersebut absen dari kehidupan si anak sejak ia kecil? Peran seorang ibu menjadi semakin penting karena beliau lah yang akan menjadi pusat dunia anak. Tentu saja saya menuliskan ini dari sudut pandang si anak, karena saya belum jadi seorang ibu.

Ketidakhadiran salah satu orang tua berdampak besar bagi anak. Untuk itu, orang tua yang tinggal perlu memastikan bahwa anak tidak kekurangan kasih sayang. Stereotipe yang beredar, dan bahkan disebutkan pula dalam grafis pendidikan anak di atas, anak dari keluarga broken home memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai sosial serta terjerumus dalam lingkungan yang tidak baik. Sayang sekali saya tidak ingat membaca alasan gamblang mengenai hal ini. Mungkin, karena mereka kurangkasih sayang. Bisa jadi mereka merasa tidak ada sosok panutan. Bisa pula mereka merasa sendirian dan tidak ada orang yang dipercaya. Semua itu mungkin membuat mereka mencari pelarian atau penghiburan. Tidak tahu pastinya. Yang jelas, rumah seharusnya memberikan rasa aman bagi anak. Rumah harus bisa menjadi tempat 'pulang' yang nyaman. 

Berita-berita tindak kriminal yang lalu lalang di media, terutama yang melibatkan anak-anak, membuat saya miris dan bertanya-tanya, bagaimana orang tua mereka? Ketika melihat anak-anak jalanan yang amsih kecil sudah memegang rokok di tangan pun menimbulkan pertanyaan yang sama di kepala saya. Apakah orang tua mereka terlalu disibukkan dengan masalah ekonomi sehingga tidak punya waktu lagi untuk memperhatikan anak-anak mereka?  Saya belum diberi nyali untuk mendekati mereka dan menanyakan hal ini. Saya seringkali terganggu dengan fakta anak-anak yang terlalu cepat 'merasa dewasa'. Entah dalam hal berpakaian, berkata-kata, dan perilaku. Rasanya ingin menegur, "Hei, nikmatilah waktu kalian sebagai anak-anak. Kalau udah dewasa nanti, kalian ga akan punya lagi kesempatan itu!" But I can only bite my tongue. 

Media punya peraanan besar dalam mengenalkan dunia orang dewasa pada anak-anak. Yang paling mudah dijangkau dan punya akses luas tentu saja televisi. Sudah bukan berita baru bahwa tayangan televisi swasta yang beredar saat ini sebagian besar tidak mendidik. Bagi mereka yang mampu, mungkin bisa memilih tayangan yang lebih berkualitas dengan cara berlangganan siaran televisi berbayar. Bagaimana dengan yang kurang mampu? Dilema. Sangat mungkin bagi mereka televisi adalah hiburan utama karena mereka tidak mampu menjangkau hiburan lain. Mereka 'terpaksa' melihat tayangan televisi yang tidak bermutu karena tidak ada pilihan. Provider-provider pun terus memasok taangan tidak bermutu ini karena ada yang menonton. Saya sudah sering melihat kritikan terhadap tayangan televisi berseliweran di media sosial, tapi apakah punya efek yang diharapkan? Apakah ada perubahan? Hmm. Masih berdoa hingga sekarang. Perkara televisi ini bisa jadi semakin melebarkan gap yang ada. Tidak hanya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, tapi yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh. Tampaknya perjalanan Indonesia untuk jadi negara maju masih panjang. Semoga para pemangku jabatan di negeri tercinta ini istiqomah untuk menjalankan tugasnya dengan otak dan hati.

No comments:

Post a Comment