Wednesday, August 5, 2015

Ciee

Assalamualaikum.

Sudah berbulan-bulan ga ke sini, sekarang udah jadi istri orang. Alhamdulillah, Februari 2015 D and me were officially husband and wife. Sangat banyak bersyukur untuk itu. Kami sudah mengenal sejak SMA yang berarti lebih dari 10 tahun. Dari yang awalnya teman berantem, teman becanda, teman jahil usil, jadi deket, sempet pacaran, putus, temenan lagi, dan pacaran lagi. Yah, itu singkatnya. I'm really glad that we made it. I know this isn't the end of our story, this is just the beginning :-)


Jadi gimana kesan dan pesan setelah nikah? Dari dulu tuh yang jadi ganjelan buat saya adalah urusan masak memasak. Yah bisa dibilang penting ga penting kali yah. Mengganjal kare saya bukan tukang masak yang baik. Skill masak saya hanya sampai tahap cukup (kalau penilainya baik, kalau pelit mah udah dapet D kali), sedangkan si suami adalah tukang makan grade A+. Lidahnya jauh lebih peka terhadap masakan dari pada saya. Saya orangnya ga ribet urusan makan, ada beberapa makanan yang ga terlalu saya sukai, itu aja. Ga rempong pengen makan yang terlalu macam-macam harus begini begitu ada ini ada itu. Nah, kalau prinsip makan itu saya terapin ke suami, kasihan sekali perutnya. He he. But, you know what, setelah menikah, bisa dibilang urusan makan ini adalah the least thing you need to worry about. Ada banyak hal lain yang perlu lebih diperhatikan.

Alhamdulillah setelah menikah kami menempati rumah baru. Baru jadi, yang berarti masih ada kekurangan di sana sini. Jadilah kami kerja bakti bersih - bersih lantai, kamar mandi, bahkan karena belum punya gorden, akhirnya seprei digantung di jendela, hi hi. Baru nikah, tinggal di tempat baru, dan jauh dari orang tua, bener-bener tantangan untuk hidup mandiri. Sebenernya jauh dari orang tua bukan hal baru untuk kami karena sebelumnya pun kami telah hidup di perantauan. Tapi status sudah menikah ini memaksa (?) kita untuk lebih mandiri, menyelesaikan masalah sendiri. Tetep sih waktu masang gas si suami nelfon Bapak, dan waktu mau masak, saya masih nelfon Ibu untuk tanya resep. he he.

Bagaimana rasanya membagi hidup dengan orang lain? Kompromi adalah hal yang sangat penting. Saya akui, saya orang yang jauh lebih egois daripada suami. Seringkali dia yang mengalah. Saya termasuk orang yang sangat teratur meskipun tidak selalu rapi. Saya terbiasa menaruh barang di tempatnya, segera mengembalikan setelah memakai, segera membersihkan kalau ada yang kotor, punya jadwal tetap untuk melakukan ini dan itu. Suami? Well, he's almost completely different. Suami saya lebih santai. Awalnya ini termasuk hal yang membuat saya stress, melihat barang-barang tergeletak di mana-mana, tempat tidur yang sudah dirapikan diacak-acak lagi, tumpukan baju di lemari tiba-tiba berantakan. Yah, hal-hal kecil semacam itu lah. Lama-lama saya berusaha lebih santai, mencoba lebih sabar dalam meminta suami untuk ini dan itu (meskipun jika sedang capek ujung-ujungnya tetap mengomel). Dan itu berhasil. Hal - hal kecil semacam itu tidak lagi membuat saya setegang dulu. Suami juga berusaha membantu, mungkin mulai peka dengan apa-apa yang membuat saya jengkel sehingga sedikit demi sedikit mulai membiasakan diri untuk tidak berantakan. Semuanya perlu kompromi, tidak hanya menuntuk pasangan untuk memenuhi kemauan kita, tapi juga kompromi dengan diri sendiri untuk mau mengurangi tuntutan kita.

Kami masih sama-sama belajar untuk bergerak dengan harmonis, masih sama-sama saling menyesuaikan, dan masih sama-sama mencari ritme yang nyaman untuk berjalan. Yah kalau mau pakai tagline mah mungkin yang cocok: Bersama kita bisa! he he. One chapter at a time, okay? Wish you all have a great day.

No comments:

Post a Comment